Musik ini telah dirintis lebih dari 200 tahun lalu. Musik gambang kromong tidak bisa lepas dari pertunjukan Lenong sejak uoaya teaterisasi musik Gambang kromong di tahun 1920-an dengan menyelipkan lawakan hingga kemudian penceritaan melalui para aktor yang disebut panjak. Musik Gambang kromong dimulai dengan hadirnya penari (ronggeng) sebelum lakon lenong dimulai.
Kesenian gambang kromong ini populer sekitar tahun 1930-an di kalangan masyarakat Tionghoa Peranakan yang sekarang dikenal dengan nama Cina Benteng. Gambang kromong pertama kali muncul hanya bernama gambang, yakni salah satu perangkat gamelan yang terdiri dari susunan bilah-bilah kayu di atas sebuah kotak kosong panjang. Namun sejak awal abad ke-20 menjadi gambang kromong karena ada penambahan instrumen berupa kromong. Adapun orang yang memprakarsainya adalah Nie Hoe Kong, seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda atau kapitan Cina (masa jabatan 1736-1740). Bermula dari sekelompok pemusik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hoe Kong yang berkolaborasi dengan dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa tehyan dan kongahyan. Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik semacam ini disebut phobin. Gambang kromong difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka lingkaran hidup seseorang (perkawinan, nazar, dan sunatan).
Pemain
Struktur organisasi sebuah kelompok gambang kromong terdapat seorang pemimpin yang bertugas mulai dari mengkoordinir anggota, mencari penanggap, menentukan harga pentas, hingga upah bagi panjak (pemain) berdasarkan keahlian yang dimiliki. Seorang pemimpin sebuah kelompok gambang kromong dapat merangkap sebagai pemilik, anak/kerabat pemilik atau panjak yang diberi wewenang oleh pemimpin sebelumnya.
Selain pemimpin, sebuah kelompok gambang kromong juga memiliki panjak (pemain) antara 8-25 orang, bergantung pada jenis musik yang dibawakan serta pesanan penanggapnya. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan panjak dalam setiap pementasan. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: panjak gambang, panjak kromong, panjak teh-hian, panjak kong-a-hian, panjak su-kong, panjak gong dan kempul, panjak gong enam, panjak ningnong, panjak kecrek, panjak bangsing, terompet, organ, gitar melodi, bas elektrik, drum, penyanyi, penari, dan bahkan panjak lenong.
Keahlian seorang panjak dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu belajar pada para panjak yang sudah malang melintang di dunia kesenian Betawi atau diwariskan oleh orang tua. Bagi orang-orang yang bukan berasal dari keluarga seniman tetapi memiliki bakat dan tekad yang kuat untuk menjadi seniman, cara belajarnya dengan magang pada satu atau beberapa sanggar seni.
Seorang panjak dapat bermain di mana saja. Ia dapat ngamen bersama kelompoknya maupun kelompok lain yang sedang membutuhkan panjak tambahan atau pengganti sementara untuk mengisi kekosongan formasi. Adapun aturan mainnya sangatlah sederhana, seorang panjak boleh bermain pada kelompok atau kelompok lain apabila kelompoknya sedang tidak ada kegiatan (ngamen). Selain aturan pinjam yang sederhana, prosesnya juga fleksibel, yaitu dapat minta izin pada pimpinan kelompoknya atau menghubungi langsung pada panjak yang akan diminta jasanya. Apabila setuju, sang panjak langsung bergabung tanpa perlu memberitahukan pada pimpinan kelompoknya. Honor yang didapat juga sepenuhnya milik sang panjak tanpa harus disetorkan, dipotong, atau diberitahukan pada pimpinan kelompoknya.
Instrumen Gambang Kromong
Sesuai dengan namanya, kesenian gambang kromong menggunakan dua buah alat musik utama berupa gambang dan seperangkat kromong. Keduanya selalu disertai oleh instrumen atau alat musik lain sebagai pelengkap, yaitu: su-kong, teh-hian, kong-a-hian, bangsing (seruling), gong, gendang, kecrek (pan), dan ningnong (sio-lo). Selain instrumen tadi, David Kwa dalam bukunya “Gambang Kromong dan Wayang Cokek” (2013) mencatat ada lima buah instrumen yang sekarang sudah tidak dimainkan lagi, yaitu ji-hian (instrumen gesek berdawai dua), ho-sian (instrumen gesek berdawai dua), sam-hian (instrumen gesek berdawai tiga), gweh-khim (semacam gitar berbentuk bulat berdawai dua), dan juanto (semacam terompet berlubang tujuh buah). Nada musiknya hanya memakai lima buah nada (pentatonis) yang mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa, yakni: liuh = sol (g), u = la (a), siang = do (c), che = re (d), dan kong = mi (e). Tidak ada nada fa = f dan si = b seperti dalam musik diatonis khas Barat. Larasnya pun selendro khas Tionghoa sehingga biasa disebut selendro cina atau selendro mandalungan.
Apabila jenis lagu yang dimainkan adalah lagu sayur, maka ditambah lagi dengan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bas elektrik, terompet, saxophone, organ, dan bahkan drum. Menurut Sukotjo dalam bukunya “Musik Gambang Kromong dalam Masyarakat Betawi di Jakarta” (2012), masuknya instrumen musik Barat dalam ensambel gambang kromong membuat musik tersebut harus menyesuaikan dengan tangga nada diatonis (tujuh nada) pada pola permainannya. Adapun urutan nada pokok diatonis yang dipergunakan dalam pola permainannya menjadi c (do), d (re), e (mi), f (fa), g (sol), a (la), dan b (si).
Penambahan alat-alat musik modern menciptakan pro dan kontra di kalangan seniman maupun penikmat musik gambang kromong. Bagi yang setuju berpendapat bahwa pengkolaborasian gambang kromong dengan alat musik modern dapat memperkaya karya seni yang dihasilkan. Jadi, boleh dilakukan asalkan alat-alat musik yang asli (gambang, kromong, teh-hian, dsb) tetap dipertahankan agar tidak kehilangan “roh”nya. Sementara bagi mereka yang kontra berpendapat bahwa pengkolaborasian dengan alat musik modern akan membuat bergesernya aturan-aturan yang menjadi suatu patokan dalam pola permainan gambang kromong. Perubahan dari nada pentatonis menjadi diatonis akan memberikan nuansa yang berbeda dalam karakteristik musik gambang kromong. Hal ini dapat dilihat dalam dominasi penggunaan gitar elektrik dan saxophone ketimbang instrumen gambang dan teh-hian sebagai musik pembukanya (intro).
Berikut adalah instrumen musik tradisional bernada pentatonis yang biasa digunakan dalam orkes gambang kromong:
Seluruh instrumen musik di atas didominasi oleh warna merah, hitam, coklat dan kuning. Warna coklat, baik muda maupun tua, terdapat pada resonator su-kong, teh-yan, kong-a-hian, bilah-bilah gambang, dan badan gendang. Warna kuning terdapat pada instrumen suling, gong, kecrek, kromong dan benda-benda lain yang terbuat dari kuningan. Warna hitam terdapat pada instrumen gong, kromong, kecrek, dan bilah-bilah gambang yang dibiat dari kayu-besi (ki beusi). Dan, warna merah terdapat pada alat-alat kayu penyangga (dudukan) instrumen gong, kempul, kecrek, gambang, serta kromong.
Adapun pembuatan instrumennya tidak dilakukan sendiri oleh seniman gambang kromong, melainkan dipesan dari berbagai daerah di Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Kalaupun ada yang dibuat sendiri, biasanya hanya bagian-bagian kecil dari sebuah instrumen yang memerlukan perbaikan. Untuk gong, kromong, dan kempul misalnya, dipesan dari pande yang biasa membuat peralatan tersebut. Oleh pande gong atau kempul dibuat dalam adonan timah dan tembaga panas kemudian dituang pada cetkan gamelan yang tertanam di tanah di ruang pembakaran. Setelah mengeras, adonan diangkat lalu dibakar dan dipukul-pukul untuk mencapai ketebalan yang diinginkan. Apabila kurang tebal, ditambah dengan cara didempul kemudian dilas.
Keluar dari ruang pande (ruang pembakaran), gong atau kempul digerinda dan dikikir. Di tengah proses pengikiran, gong atau kempul dilaras (disetel agar bunyi yang dihasilkan sesuai dengan nadanya). Apabila kurang pas, dibawa ke ruang pembakaran lagi untuk didempul dan dilas. Begitu seterusnya hingga dihasilkan sebuah gong, kromong, atau kempul dengan nada sempurna. Dan, sebelum beralih ke tangan seniman gambang kromong, peralatan perkusi itu digosok dengan cairan kimia atau batu giok hijau bercampur bensin agar mengkilat.
Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para panjak laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Dewasa ini sedikitnya ada tiga model yang biasa dikenakan oleh para panjak laki-laki, yaitu: sadariah, demang, dan batik. Model sadariah atau biasa disebut juga sadarie, tikim, dan koko adalah setelan yang umum dipakai oleh orang Betawi kebanyakan, terdiri dari baju koko atau baju gunting Cina, celana batik panjang, kain sarung sebagai selendang bahu, terompah, kopiah berwarna hitam atau merah sebagai penutup kepala, dan sandal jepit dari kulit. Menurut jakarta.go.id, mulanya busana ini hanya dikenakan oleh para pemuda saat ada kegiatan keagamaan atau sedekahan di masjid. Lambat laun fungsinya meluas untuk keperluan lain, diantaranya adalah busana pemuda yang bertugas membawa sirih-nanas sebagai mas kawin pada prosesi perikahan adat Betawi, dan busana para seniman kesenian betawi ketika sedang manggung.
Model selanjutnya disebut sebagai ujung serong atau demang karena dahulu umum dikenakan oleh para demang dan kaum bangsawan laki-laki lainnya, terdiri dari: jas tutup berkerah, celana panjang berwarna senada dengan jas, kain jung serong karena dipakai tidak lurus (serong), kopiah berwarna hitam atau merah, sepatu kulit, dan aksesoris berupa jam saku rantai serta kuku harimau atau duit gobang yang diletakkan pada saku jas atas.
Model terakhir adalah kemeja batik yang dipadukan dengan celana panjang berwarna gelap serta ditambah dengan kopiah dan sepatu kulit. Kostum batik ini jarang dikenakan oleh para pemain ketika ngamen dalam acara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat secara perseorangan, seperti khitanan atau perkawinan. Mereka memakainya apabila yang mengundang untuk ngamen dari dines atau instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Adapun kostum atau busana yang dikenakan oleh panjak perempuan adalah kebaya encim terbuat dari sifon atau katun halus yang panjangnya hanya sebatas pinggul agar mencerminkan keindahan tubuh si pemakai,sarung batik berwarna cerah bermotif pucuk rebung, kutang nenek sebagai pakaian dalam, selendang polos berbahan sifon, konde cepol berukuran segenggaman tangan dan diletakkan sekitar tujuh jari di atas tengkuk, serta selop bertumit rendah terbuat dari kain ringan seperti beludru.
Lagu-lagu yang Dilantunkan
Ada beberapa versi mengenai jenis lagu yang umum dibawakan dalam kesenian gambang kromong. Versi pertama berasal dari Sopandi dkk, 1992, yang menyatakan bahwa jenis lagu gambang kromong ada tiga macam, yaitu phobin, sayur, dan lagu untuk rancag.
Lagu phobin adalah lagu berirama cepat yang dibawakan dalam bentuk instrumentalia. Lagu sayur adalah lagu selingan atau hiburan, seperti: Versi, Jali-jali, Cente Manis, Cente Manis Gula Batu, Cente Manis Kelapa Muda, Surilang, Balo-balo, Stambul Siliwangi, Jali-jali Kalih Jodo, Jali-jali Si Ronda, Jali-jali Pasar Malam, Jali-jali Bunga Siantan, Jali-jali Ujung Menteng, Jali-jali Kramat Karem. Dan, jenis lagu rancag adalah lagu iringan dan lagu vokal dalam penyajian rancag, seperti: Sipitung, Siangkri, Orang Bujang, Galatik Unguk, Stambul.
Sementara menurut Rojali (seniman gambang rancag), lagu gambang kromong hanya terdiri dari dua jenis, yaitu: lagu dalem dan lagu sayur. Lagu dalem adalah lagu yang masih kental dengan nuansa musik Tionghoa. Jenis lagu ini umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: phobin, musik dan vokal, lalu diakhiri dengan lopan. Komposisinya dapat berupa phobin–musik dan vokal–lopan atau phobin-musik dan vokal-phobin. Irama phobin dan lopan yang sama dapat dimainkan untuk mengiringi lagu yang berbeda.
Phobin merupakan intro atau musik pengantar berdurasi pendek sebelum suara vokal masuk. Kwa (2005) menuturkan, dahulu phobin merupakan irama khusus yang digunakan untuk mengiringi berbagai macam upacara dalam lingkaran hidup masyarakat Tionghoa tradisional. Judul phobin umumnya menggunakan nama-nama tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa berdialek Hokkian di Cina Selatan, seperti: Phobin Poa Si Litan, Phobin Peh Pan Tau, Phobin Cu Te Pan, Phobin Cai Cu Siu, Phobin Cai Cu Teng (Punjung Cendekiawan Berbakat), Phobin Seng Kiok, Ma To Jin (Pendeta Perempuan), Jin Kui Hwe Ke (Jin Kui Pulang Kampung), Lui Kong (Dewa Halilintar), Cia Peh Pan, It Ki Kim (Setangkai Emas), Tai Peng Wan (Teluk Perdamaian dan Ketenteraman), Pek Bou Tan (Bunga Peoni Putih), Cai Cu Siu (Kekayaan, Keturunan dan Usia Panjang), Kim Hoa Cun (Perahu Bunga Emas), Liu Tiau Kim, Si Sai Hwe Ke, Ban Kim Hoa (Berlaksa Bunga Emas), Pat Sian Kwe Hai (Delapan Dewa Menyeberangi Laut), Lian Hoa The (Tubuh Bunga Teratai), Se Ho Liu, Hong Tian, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Kong Ji Lok, Coan Na, Ki Seng Co, Ciang Kun Leng, Tio Kong In, Sam Pau Hoa, Pek Hou Tian, Kim Sun Siang, Ce Hu Liu, Bangliau, Li Ten Hwe Bin, Phobin Kong Ji Lok, dan lain sebagainya.
Untuk dapat memainkan lagu-lagu phobin, seseorang harus menggunakan notasi dalam huruf Tionghoa yang biasa dipakai unuk lagu-lagu Hokkian Selatan. Oleh karena itu, sekarang sudah sangat jarang ada pemusik gambang kromong yang dapat memainkan lagu phobin secara lengkap. Kalau pun ada, hanya beberapa judul saja, seperti Phobin Khong Ji Lok serta beberapa phobin sebagai pengiring upacara inisiasi menjelang pernikahan atau kematian di kalangan orang Tionghoa tradisional (Kwa, 2005).
Setelah lagu phobin barulah vokal penyanyi masuk dalam tempo lambat dan monoton. Syair yang dilantunkan diambil dari kumpulan pantun Melayu-Betawi atau syair Tionghoa koleksi penyanyinya dan diiringi instrumen musik yang didominasi oleh suling, kong-a-hian, teh-yan dan su-kong tanpa menggunakan instrumen modern. Judul lagu dalem bersyair Melayu-Betawi diantaranya adalah: Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nuri), Centeh Manis Berduri, Dempok, Temenggung, Menulis, Enko Si Baba, Indung-indung, Jungjang Semarang, Kulanun Salah, Gunung Payung, Bong Tjeng Kawin, Mas Mira, Persi Kocok, dan Duri Rembang. Sedangkan, yang bersyair Tionghoa adalah: Poa Si Li Tan, Bangliau, Tan Sha Sioe Khie, Gouw Nio, dan Tang Hoa Ko Nyanyi. Lagu dalem kemudian diakhiri dengan lopan atau musik pengakhir lagu dengan judul berbahasa Tionghoa atau Melayu-Betawi, misalnya Lopan Tukang Sado. Sebagai catatan, saat ini seniman Betawi yang mampu menyanyikan lagu-lagu dalem tinggal satu orang saja, yaitu Cim Masnah alias Pang Tjin Nio yang wafat pada hari Minggu, 26 Januari 2014 dalam usia 88 tahun.
Jenis lainnya adalah lagu sayur yang komposisinya tidak menggunakan phobin dan lopan sebagai intro dan penutup lagu. Konon, jenis lagu ini diciptakan untuk ngibing (menari) dengan diiringi instrumen musik modern berupa gitar, bas elektrik, dan bahkan drum, sehingga ada pula yang menamakannya sebagai lagu modern. Judul-judul lagu sayur atau modern diantaranya adalah: Kramat Karem, Onde-onde, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (versi Ujung Menteng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkareng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Sere Wangi, Rusak, dan Jalan), Persi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centeh Manis, Kudehel, Balo-balo, Renggong Manis, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret ayung, Lenggang Kangkung, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Blenderan, dan lain sebagainya termasuk beberapa diantaranya lagu berbahasa Sunda (Awi Ngarambat, Gaplek, Kembang Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tempel, dan Wawayangan).
Munculnya lagu sayur atau lagu modern dimulai ketika Bung Karno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin dan Anti Neo Kolonialismenya memberlakukan larangan penerapan ideologi barat (liberal) termasuk kebudayaannya pada tahun 1965 (www.share-pdf.com). Waktu itu, para seniman dilarang untuk memainkan dan menyanyikan lagu-lagu pop barat yang dianggap oleh pemimpin politik sebagai lagu ngak-ngek-ngok. Kondisi ini dimanfaatkan oleh banyak penyanyi pop beralih ke jalur musik lain yang “asli” Indonesia sebagai tempat bernaung agar tetap berprofesi sebagai penyanyi. Beberapa di antara mereka adalah Lilis Suryani dan Benyamin Suaeb yang menggandeng seorang seniman gambang kromong bernama Suhaeri Mukti untuk berduet menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi.
Senada dengan Lilis Suryani, Benyamin Suaeb yang sebelumnya bernyanyi lagu pop segera banting stir agar aman dari tuduhan penyanyi ngak-ngek-ngok (Kalim, 2005). Seniman asli Betawi yang lahir di Kemayoran ini memilih bergabung dalam kelompok Naga Mustika pimpinan Suryahanda menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi dengan iringan musik gambang kromong. Selama berada di Naga Mustika, Benyamin menambahkan nuansa baru dalam penambilan kesenian ini agar sejajar dengan seni musik modern yang dipengaruhi seni musik Barat. Caranya adalah dengan memadukan peralatan musik gambang kromong yang bernada pentatonik dengan alat-alat musik modern berbasis nada diatonik seperti gitar melodi, gitar bas, drum, saxsofon, terompet, dan keyboard (organ). Hasilnya, terbentuklah sebuah aliran musik baru yang dinamakan sebagai gambang kromong modern atau gambang kromong kombinasi karena menggunakan instrumen musik modern dari Barat.
Untuk lebih mempopulerkan gambang kromong modern, bersama grup Naga Mustika Benyamin kemudian menggandeng Bing Slamet dan Ida Royani masuk dapur rekaman melalui studio Dimitra Record milik Dick Tamimi. Bing Slamet diminta menyanyikan lagu Nonton Bioskop, Brang Breng Brong dan Tukang Sayur sementara Ida Royani diminta berduet menyanyikan lagu ciptaan grup Naga Mustika. Mulai dari sinilah berkembang lagu-lagu baru gambang kromong yang oleh masyarakat disebut sebagai lagu sayur. Liriknya bertema tentang kesulitan hidup, kritik terhadap pemerintah dan elit politik, humor, dan lain sebagainya.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Gambang_keromong
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/apa-dan-bagaimana-peralatan-musik-gambang-kromong/