Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Demo
Mat Seni - Budaya Betawi
Mat Seni
11.28.2020

Mohammad Hoesni Thamrin lahir di Weltevreden (kini Sawah Besar-Jakarta Pusat), Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda (Indonesia), pada 16 Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda. Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini.

Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah gubernur jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.

Mohammad Husni Thamrin lebih dikenal dengan nama Mat Seni, sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari – hari dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat ‘Jelata”. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tak canggung mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung tidur bersama mereka. sebagaimana yang pernah disaksikan oleh ayahnya sendiri. Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah tampak sejak masih usia remaja. Dia termasuk kalangan pemuda terpelajar karena pernah belajar tiga tahun di Gymastik KW III yang elit di zamannya.

Sejak 1915, Mat Seni sudah sering berdiskusi dengan Daan van der Zee, sekretaris Gemeenteraad (Dewan Kota) yang membantunya memperoleh dukungan untuk jadi anggota dewan. Salah satu topik mereka adalah pembangunan kanal banjir untuk mengantisipasi air bah yang biasa merendam Jakarta tiap musim hujan. Thamrin dan warga Jakarta lainnya memang punya pengalaman buruk soal banjir.
Setelah banjir, wabah kolera pun menjangkiti warga kampung. Setiap harinya rumah sakit selalu didatangi penderita kolera sekitar 6 sampai 8 orang. Belajar dari banjir ini, Thamrin menuntut perbaikan kampung.
Berkat pengaruh van der Zee, Thamrin akhirnya berhasil masuk menjadi anggota Dewan Kota. Sidang Dewan Kota tanggal 17 Oktober 1919 adalah sidang pertamanya. Usianya baru 25 tahun ketika itu, sehingga ia menjadi anggota termuda. Meski telah menjabat anggota dewan, dia masih bekerja di KPM. Dia baru keluar dari KPM pada September 1925, ketika sudah jadi pejabat kota Jakarta.
Sebagai anggota Dewan Kota Jakarta, dirinya begitu peduli pada permasalahan orang pribumi. Program perbaikan perkampungan orang-orang pribumi di kota Jakarta adalah bagian dari perjuangannya. Dia melihat kesenjangan antara kampung-kampung orang pribumi dengan jalan raya besar dan bangunan-bangunan pemerintahan yang megah.
Bangunan-bangunan itu adalah simbol kota Jakarta, yang kala itu disebut Batavia. Menurutnya,”Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi dengan villa yang luas dengan jalan lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga”.

Dalam sebuah sidang, Thamrin memperingatkan pemerintah kotapraja Jakarta soal ratusan ribu orang kampung yang hidup di lingkungan yang jorok. Sanitasi dan masalah sampah mereka tak terurus. Untuk itu, Thamrin mengusulkan penganggaran dana dari pemerintah kota hingga 100.000 Gulden untuk perbaikan kebersihan kampung dengan mempekerjakan seratus kuli. Kuli-kuli itu nantinya akan bergerak dari kampung ke kampung untuk mengeruk saluran air yang sudah ada.

Usul itu didukung Schotman, Marle, dan anggota dewan pribumi. Sayangnya, Walikota Jakarta A. Meyroos begitu perhitungan. Karena melihat kecilnya pajak yang diperoleh dari pribumi yang tinggal di kampung, Meyroos menolak menyisihkan anggaran yang diajukan. Meyroos berkeras hanya menganggarkan dana sebesar 30.000 gulden untuk kepentingan pribumi. Menurut Meyroos, program pembersihan kampung cuma menghabiskan dana saja. Setelah bersih, keadaannya akan kembali seperti semula.
Meski begitu, rasa pedulinya pada masyarakat kampung tetap ditunjukkan Thamrin dengan menyediakan ruang terbuka hijau.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat M. Husni Thamrin, mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
M.Husni Thamrin dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi yang pertama kali menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Hindia Belanda, mewakili kelompok Inlanders (pribumi). Pada zaman Hindia Belanda, banyak orang bumiputera yang duduk sebagai anggota Volksraad, semacam parlemen di masa itu. Dari 55 kursi Volksraad, 25 di antaranya diisi orang Indonesia.
Pada tahun 1927 ia ditunjuk sebagai anggota Volksraad untuk mengisi lowongan yang dinyatakan kosong oleh Gubernur Jenderal. Pada mulanya kedudukan itu ditawarkan kepada Hos Cokroaminoto tetapi ditolak. Kemudian ditawarkan lagi kepada Dr. Sutomo tetapi juga dia menolak. Dengan penolakan kedua tokoh besar ini, maka dibentuklah suatu panitia, yaitu panitia Dr. Sarjito yang akan memilih seorang yang dianggap pantas untuk menduduki kursi Volksraad yang lowong. Panitia Dr. Sarjito akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Mohammad Husni Thamrin. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa Mohammad Husni Thamrin cukup pantas menduduki kursi itu mengingat pengalamannya sebagai anggota Gemeenteraad.

Pada tahun pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, keadaan di Hindia Belanda mengalami perubahan yang sangat penting yakni adanya sikap pemerintah kolonial yang keras, lebih bertangan besi. Ini adalah salah satu akibat yang paling “buruk” yang lahir dari terjadinya pemberontakan 1926 dan 1927. Akan tetapi di lain pihak ketika memasuki tahun 1927 itu pula, langkah pergerakan nasional kita juga mengalami perubahan sebagai akibat dari didirikannya PNI dan munculnya Bung Karno sebagai pemimpin utamanya.

Prestasi besar Thamrin dan koleganya untuk kebaikan orang pribumi salah satunya adalah penghapusan Poenale Sanctie, sebuah ordonansi (undang-undang) mengenai kuli yang muncul pada 1880 dan diperbarui pada 1889. Dalam ordonansi ini, pemerintah kolonial memberikan wewenang kepada perusahaan perkebunan untuk memberi hukuman pada kuli yang melanggar kontrak. Jika seorang kuli dianggap melanggar kontrak atau malas bekerja, yang bersangkutan boleh diberi hukuman tanpa melalui proses peradilan.
Pada tahun 1929 telah terjadi suatu insiden penting di dalam Gemeenteraad, yaitu yang menyangkut pengisian lowongan jabatan wakil wali kota Betawi (Batavia). Tindakan pemerintah kolonial ketika itu memang sangat tidak bijaksana, karena ternyata lowongan jabatan itu diberikan kepada orang Belanda yang kurang berpengalaman, sedang untuk jabatan itu ada orang Betawi yang jauh lebih berpengalaman dan pantas untuk jabatan itu. Tindakan pemerintah ini mendapat reaksi keras dari fraksi nasional. Bahkan mereka mengambil langkah melakukan pemogokan, ternyata usaha mereka berhasil dan pada akhirnya Mohammad Husni Thamrin diangkat sebagai Wakil Wali Kota Batavia.
Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepak bola Hindia Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepak bola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Kemenangan Thamrin yang lain adalah menggagalkan Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan pada 27 September 1933. Akibat ordonansi tersebut, sekolah-sekolah swasta macam Taman Siswa milik Ki Hajar Dewantara terancam karena dianggap bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban (rust en orde).
Bagi Thamrin, sekolah swasta dan para gurunya itu tidaklah berbahaya. Bersama tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Sam Ratulangi, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya, Husni Thamrin berusaha melawan. Tanpa sekolah-sekolah swasta tersebut, anak-anak pribumi menjadi makin sulit mendapat akses pendidikan dan nasionalisme tak bisa diwarisi melalui sekolah-sekolah tersebut. Pada 1 April 1934, berkat usaha Thamrin dan kawan-kawan, ordonansi itu akhirnya dicabut.

Pada tanggal 11 Januari 1941 Mohammad Husni Thamrin wafat di Senen pada umur 46 tahun, setelah sakit beberapa waktu lamanya. Beberapa saat sebelumnya, pemerintah kolonial telah melakukan tindakan “sangat kasar” terhadap dirinya. Dalam keadaan sakit, ia harus menghadapi perlakuan rumahnya digeledah oleh polisi-polisi rahasia Belanda (PID). Ia memprotesnya, akan tetapi tidak diindahkan. Sejak itu rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorangpun dari rumahnya yang diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin polisi, juga termasuk anak perempuannya yang masih juga tidak diperkenankan meninggalkan rumahnya, sekalipun utntuk pergi ke sekolah. Tindakan polisi Belanda itu tentulah sangat menekan perasaannya dan menambah parah sakitnya. Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi telah kehilangan salah seorang pemimpinnya yang cerdas dan berwibawa. Mohammad Husni Thamrin adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.

 

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Husni_Thamrin
https://tirto.id/husni-thamrin-pahlawan-betawi-yang-berjuang-di-volksraad-bUVr